Menyeramkan. Malam ini mimpiku menyeramkan. Memang sekarang aku sedang berada di rumah sakit, papaku opname. Papa, cepat sembuh Pa.
Aku bermimpi indah tapi setelahnya mengerikan. Aku takut. Karena terasa dingin hawa di malam ini. Malam buta. Berembun basah. Aku sendiri, sendiri tuk menyusuri lorong-lorong sepi yang berbisik gesekan dedaunan pohon. Dan yang kudengar sekarang hanya bunyi sandalku yang menapak di lantai bening ini.
Aku tak tau. Tiba-tiba aku telah di luar gedung Rumah Sakit. Aku menatap sekeliling sejenak, lalu melanjutkan jalan. Pelan. Aku takut. Banyak yang bilang jika rumah sakit yang aku tempati ini berhantu. Ya Tuhan.. Semoga ini bukan daerah yang mengagetkanku.
Aku bermimpi indah tapi setelahnya mengerikan. Aku takut. Karena terasa dingin hawa di malam ini. Malam buta. Berembun basah. Aku sendiri, sendiri tuk menyusuri lorong-lorong sepi yang berbisik gesekan dedaunan pohon. Dan yang kudengar sekarang hanya bunyi sandalku yang menapak di lantai bening ini.
Aku tak tau. Tiba-tiba aku telah di luar gedung Rumah Sakit. Aku menatap sekeliling sejenak, lalu melanjutkan jalan. Pelan. Aku takut. Banyak yang bilang jika rumah sakit yang aku tempati ini berhantu. Ya Tuhan.. Semoga ini bukan daerah yang mengagetkanku.
Tiba-tiba aku merinding. Sekali lagi ku menatap sekeliling. Tak ada siapa-siapa memang, tapi ada sebuah pohon beringin yang berdiri kokoh tak jauh dari langkah kakiku.
Aku penasaran. Aku merasa ada orang disana. Kudekati pohon itu.
Dan sesuai dugaanku, memang ada seseorang.
Anak kecil sebayaku duduk termenung disana.
Dengan gugup aku berjalan mendekatinya. Tapi meski ada rasa takut, ku yakin Allah ada bersamaku dan melindungiku jika dia roh jahat.
Tapi makin ku mendekat padanya rasanya tetap biasa saja. Tak ada yang mengganjal. Aku tak makin merinding juga.
Aku menatapnya iba. Lalu duduk di sampingnya. Rasanya seperti nyata. Namun ini hanya mimpi. Ku tahu itu.
Dia tetap termenung. Lalu ku tanya dia.
“Hei, kamu kenapa? Namamu siapa?” tanyaku sedikit terbata-bata. “Elina,” jawabnya dengan suara sedikit serak. “Kenapa kamu kok sedih?” tanyaku kembali. “2 hari yang lalu aku mati, orangtuaku keduanya meninggal. Ini semua gara pembantuku yang numpahin minyak di sebelah wajan. Ya udah deh, rumahku meledak gitu. Aku anak tunggal. Aku kesepian. Aku sekarang sendiri. Teman-teman tak ada yang mau berteman denganku, wajahku jelek. Sedari kecil aku memang jelek. Hantu memang aneh, kenapa lebih memilih mengubah parasnya menjadi cantik. Padahal yaa, enak alami.” jawabnya. Aku termenung. Ternyata tidak enak jika tidak punya saudara dan keluarga-.
Memoriku tiba-tiba memutar sesuatu. Mengingatkanku pada kakakku. Dulu, aku benci dengan kakakku. Tiap aku mengajaknya ngobrol atau curhat, sebenarnya dia baik dan suka banget dengerin aku curhat tapi semenjak dia punya kerjaan dan punya kekasih dia malah menolak keras dan lebih sibuk dengan teknologi kepunyaannya: HandPhone, iPad, dan laptop. Sedihnya. Lalu aku bersikeras pada Mama agar menjadwalkan kakak. Tapi Mama bilang, “Kakak udah gede dan kerja. Jadi terserah dia” kata Mama. Akhirnya aku diam-diam mengintip panti asuhan dari pagarnya. Aku ingin seperti mereka, punya teman ngobrol dan curhat. Apa gunanya sekarang aku punya keluarga, tapi sibuk dengan teknologi. Aku yang anak bungsu saja tidak diperbolehkan membeli alat elektronik yang bisa adil seperti kakak. Apa yang kakak minta akan dituruti. Tapi bagaimana dengan aku?
Aku penasaran. Aku merasa ada orang disana. Kudekati pohon itu.
Dan sesuai dugaanku, memang ada seseorang.
Anak kecil sebayaku duduk termenung disana.
Dengan gugup aku berjalan mendekatinya. Tapi meski ada rasa takut, ku yakin Allah ada bersamaku dan melindungiku jika dia roh jahat.
Tapi makin ku mendekat padanya rasanya tetap biasa saja. Tak ada yang mengganjal. Aku tak makin merinding juga.
Aku menatapnya iba. Lalu duduk di sampingnya. Rasanya seperti nyata. Namun ini hanya mimpi. Ku tahu itu.
Dia tetap termenung. Lalu ku tanya dia.
“Hei, kamu kenapa? Namamu siapa?” tanyaku sedikit terbata-bata. “Elina,” jawabnya dengan suara sedikit serak. “Kenapa kamu kok sedih?” tanyaku kembali. “2 hari yang lalu aku mati, orangtuaku keduanya meninggal. Ini semua gara pembantuku yang numpahin minyak di sebelah wajan. Ya udah deh, rumahku meledak gitu. Aku anak tunggal. Aku kesepian. Aku sekarang sendiri. Teman-teman tak ada yang mau berteman denganku, wajahku jelek. Sedari kecil aku memang jelek. Hantu memang aneh, kenapa lebih memilih mengubah parasnya menjadi cantik. Padahal yaa, enak alami.” jawabnya. Aku termenung. Ternyata tidak enak jika tidak punya saudara dan keluarga-.
Memoriku tiba-tiba memutar sesuatu. Mengingatkanku pada kakakku. Dulu, aku benci dengan kakakku. Tiap aku mengajaknya ngobrol atau curhat, sebenarnya dia baik dan suka banget dengerin aku curhat tapi semenjak dia punya kerjaan dan punya kekasih dia malah menolak keras dan lebih sibuk dengan teknologi kepunyaannya: HandPhone, iPad, dan laptop. Sedihnya. Lalu aku bersikeras pada Mama agar menjadwalkan kakak. Tapi Mama bilang, “Kakak udah gede dan kerja. Jadi terserah dia” kata Mama. Akhirnya aku diam-diam mengintip panti asuhan dari pagarnya. Aku ingin seperti mereka, punya teman ngobrol dan curhat. Apa gunanya sekarang aku punya keluarga, tapi sibuk dengan teknologi. Aku yang anak bungsu saja tidak diperbolehkan membeli alat elektronik yang bisa adil seperti kakak. Apa yang kakak minta akan dituruti. Tapi bagaimana dengan aku?
“Terimakasih, kau telah menyadarkan keegoisanku. Maaf aku mengganggumu. Aku duluan, ya,” pintaku. Elina mengangguk. “Terimakasih kembali, sudah mau ngobrol denganku. Padahal kamu manusia dan aku hantu. Kamu hebat, kenapa yaa kamu tidak takut sama aku. Aku ini udah jelek, muka gosong lagi. Huh..” tanyanya. “Tentu, karena ada Tuhan yang bersamaku. Aku tidak akan pernah sendiri. Dan kamu jangan gitu, syukuri pemberian Tuhan.” seruku memunculkan senyum tipisku. Lalu dia terbang menghilang ke alamnya dan aku kembali ke tubuhku yang terbaring lelap di kamar opname papa. Aku kembali bermimpi indah.
Mimpi itu terasa nyata. Aku jadi terinspirasi dari mimpiku tadi: sesama saudara harus saling menyayangi. Tak boleh punya benci.
Cerpen Karangan: vxv
Tidak ada komentar:
Posting Komentar